Rabu, 12 November 2008

PENDIDIKAN ADIL UNTUK ANAK

Pendahuluan

Pendidikan merupakan bagian integral yang berfungsi untuk mempersiapkan peserta didik agar mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan lingkungannya. Pendidikan juga akan membawa perubahan dalam diri peserta didik untuk berfungsi dalam kehidupan masyarakat. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan YME, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, produktif, serta sehat jasmani dan rohani. Hal ini sesuai dengan Visi Departemen Pendidikan Nasional sampai dengan tahun 2025, yaitu menciptakan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif.

Pendidikan terjadi dengan dimulai dari lingkungan keluarga. Keluarga diartikan sebagai suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah, dan adopsi serta interaksi berkomunikasi antara satu dengan lainnya, sehingga menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami-istri, ayah-ibu, putra-putri, saudara laki-laki dan perempuan yang merupakan pemelihara kebudayaan bersama. Dengan demikian, pembentukan keluarga mau tidak mau harus melalui ikatan perkawinan yang merupakan kontrak sosial dan ibadah yang merubah status masing-masing individu yang independen menjadi hubungan interindependen.

Keluarga adalah unit terkecil dari kelompok masyarakat dan keluarga merupakan sel dasar pembentuk kehidupan manusia. Keluargalah yang paling dekat dengan keseharian hidup anak. Oleh karena itu, untuk anak harus diawali oleh fondasi kehidupan demokrasi di tengah keluarganya, lalu di tengah lingkungannya, kemudian kelak meningkat ke lingkup yang lebih luas, yaitu lingkup nasional dan internasional sesuai perkembangan kehidupannya.

Pendidikan dalam Keluarga

Berbicara tentang pendidikan dalam keluarga perlu diawali dahulu dengan pembahasan demokrasi dalam keluarga. Demokrasi dapat diterapkan di dalam sebuah keluarga, yaitu dengan cara membangun suasana keluaga yang adil dan dinamis. Analoginya penerapan demokrasi dalam satu unit keluarga secara sederhana adalah pada pengambilan keputusan atas sesuatu yang dilaksanakan secara terbuka, dalam arti ada komunikasi dan diskusi, sehingga idealnya sebuah keputusan dapat diterima anggota keluarga dengan dasar pemahaman dan pengertian.

Pengertian Demokrasi dalam Keluarga

Demokrasi secara harfiah berarti kekuasaan ada di tangan rakyat. Pemerintahan diselenggarakan dari, untuk, dan oleh rakyat. Keluarga merupakan unit kesatuan terkecil dalam masyarakat yang umumnya terdiri dari ayah-ibu dan anak-anaknya. Di Indonesia sebuah keluarga yang menempati sebuah rumah juga meliputi kakek-nenek, adik ayah/ibu yang dipanggil paman/bibi.

Sosialisasi atas suatu hal dalam keluarga merupakan tindakan keseharian, baik orang tua, suami-istri, maupun anak yang selalu berkomunikasi untuk menyampaikan sesuatu. Dalam hal ini akan dibahas beberapa pendekatan yang biasa dilakukan orang tua dalam mendidik anak dan menegakkan disiplin keluarga. Hurlock dan Soe’oed (Ihromi,1999) mengelompokkan pola sosialisasi keluarga dalam tiga pola, yaitu:

1. Otoriter: dalam pola asuh otoriter, orang tua mempunyai kaidah dan peraturan-peraturan yang kaku dalam mengasuh anaknya. Setiap pelanggaran dikenai hukuman, sedikit sekali atau tidak pernah ada pujian apabila anak melakukan peraturan-peraturan yang telah ditentukan. Orang tua tidak mendorong anak untuk membuat keputusan sendiri sesuai dengan apa yang diperbuatnya, tetapi orang tualah yang menentukan bagaimana anak harus berbuat. Dengan demikian anak tidak memperoleh kesempatan untuk menentukan perbuatan-perbuatannya.

2. Demokratis: dalam pola asuh demokratis, orang tua menggunakan dialog, diskusi, penjelasan, dan alasan-alasan yang membantu agar anak mengerti mengapa ia diminta untuk mematuhi aturan-aturan. Orang tua lebih mementingkan aspek pendidikan daripada aspek hukuman. Hukuman tidak pernah kasar dan hanya diberikan apabila anak sengaja menolak perbuatan yang harus ia lakukan. Apabila perbuatan anak sesuai dengan apa yang patut ia lakukan, maka orang tua memberi pujian. Orang tua yang demokratis, yaitu orang tua yang berusaha untuk menumbuhkan control dari dalam diri anak itu sendiri.

3. Permisif: dalam pola ini orang tua bersikap membiarkan atau mengijinkan setiap tingkah laku anak dan tidak pernah memberikan hukuman kepada anak. Pola ini ditandai oleh sikap orang tua yang membiarkan anak mencari dan menemukan sendiri apa-apa yang memberikan batasan-batasan dari tingkah lakunya. Pada saat terjadi hal yang berlebihan barulah orang tua bertindak. Pola ini membuat pengawasan menjadi sangat longgar.

Aspek-aspek Pendidikan Anak

Dalam satu keluarga belum tentu orang tua menggunakan satu pola saja, kemungkinan menggunakan ketiga pola itu sekaligus atau secara bergantian. Penanaman nilai-nilai dalam keluarga dengan pola demokratis (kombinasi dari tiga pola di atas) akan membentuk budi pekerti dan karakter anak bangsa yang diharapkan menjadi manusia bermartabat. Dengan demikian anak akan menjadi anggota masyarakat yang jujur dan bertanggung jawab dan apabila kelak menjadi pemimpin pun akan jujur dan bertanggung jawab.

Hurlock dan Soe’oed (Ihromi, 1999) menyatakan bahwa ada empat aspek yang patut diperhatikan dalam mendidik anak dalam keluarga, yaitu adanya:

1. Peraturan

Peraturan dapat diperoleh dari orang tua, guru, adat, dan teman bermain. Tujuan dari adanya peraturan adalah membekali anak melalui suatu pedoman bertingkah laku benar dan mengendalikan tingkah laku yang tidak benar.

2. Hukuman

hukuman merupakan sangsi pelanggaran dan diberikan kepada anak yang telah mengerti secara verbal. Hukuman mempunyai tiga peranan penting, yaitu pertama bersifat membatasi agar anak (terutama anak kecil) tidak mengulangi pelanggaran, kedua bersifat pendidikan agar anak mengerti adanya hukuman apabila melanggar aturan-aturan tertentu, dan ketiga bersifat motivasi agar anak menghindari pelanggaran atas aturan-aturan.

3. Hadiah atau Penghargaan

Dalam pemberian hadiah atau penghargaan ini tidak harus berupa materi, tetapi dapat berupa kata-kata pujian, senyuman, ciuman atau menepuk-nepuk bahu anak.

4. Konsistensi

Dalam hal ini konsistensi aturan-aturan sangat diperlukan, dengan kata lain derajat kesamaan akan aturan-aturan sangat diperlukan, supaya anak tidak bingung dalam menyikapi aturan-aturan tersebut.

Pola Perkawinan dalam Suatu Kelurga

Menurut Scanzoni dan Suleeman (Ihromi, 2003) dalam suatu keluarga, pola pengasuhan anak sangat bergantung pada pola hubungan suami-istri. Ada empat macam pola perkawinan, yaitu:

1. Pola Owner Property (Istri adalah milik suami)

Istri adalah milik suami. Tugas istri adalah membahagiakan suami, menyediakan makanan untuk suami dan anak, mengasuh anak, dan mengerjakan tugas-tugas rumah tangga lainnya. Tugas suami mencari nafkah.

2. Pola Head Complement (Istri sebagai pelengkap suami)

Suami diharapkan untuk memenuhi kebutuhan istri akan cinta dan kasih sayang, kepuasan seksual, dukungan emosi, teman, pengertian, dan komunikasi terbuka. Tugas suami tetap mencari nafkah dan tugas istri tetap mengatur rumah tangga dan mendidik anak.

3. Pola Senior-Junior (Istri sebagai pelengkap dan teman suami)

Posisi istri tidak hanya sebagai pelengkap suami, tetapi juga sebagai teman. Perubahan ini terjadi karena istri juga memberikan sumbangan secara ekonomi, meskipun tetap suami pencari nafkah utama. Dalam teori pertukaran, istri mendapatkan kekuasaan dan suami kehilangan sebagian kekuasaannya. Tetapi suami masih memiliki kekuasaan yang lebih besar dari istri, karena posisinya sebagai pencari nafkah utama.

4. Pola Equal Partner (Istri sebagai mitra suami)

Tidak ada posisi yang lebih tinggi atau rendah di antara suami dan istri. Istri mendapat hak dan kewajiban yang sama untuk mengembangkan diri sepenuhnya dan melakukan tugas-tugas rumah tangga. Secara ekonomi istri mampu mandiri, secara kemampuan kerja istri mendapat pengakuan dari orang lain, karena kemampuan sendiri, bukan karena kedudukan suami.

Iklim demokrasi dalam keluarga, selain bergantung pada pola pengasuhan

anak dan pola hubungan perkawinan suami istri, bergantung juga pada pendidikan pasangan suami istri dan faktor budaya setempat yang ikut menentukan kedudukan perempuan dalam sebuah perkawinan. Tidak mudah membangun iklim demokrasi di tengah keluarga, hambatannya adalah budaya patriarki yang merupakan budaya tertua di Indonesia.

Pola Asuh Orang Tua pada Anak

Jenis-jenis pengasuhan anak oleh orang tua memberikan warna bagi perkembangan anak. Dalam hal ini orang tua mempunyai peranan yang sangat penting untuk memfasilitasi perkembangan anak, terutama perkembangan emosi dan kehidupan sosialnya. Pola pengasuhan anak akan banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Pola-pola pengasuhan anak ini dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kategori dengan kriteria tertentu. Diana Baumrid ( Santrock, 2007: 464) mengemukakan empat jenis pola penasuhan anak sebagai berikut.

1. Pola asuh otoriter/ berkuasa (Authoritarian Parenting)

Pola pengasuhan anak seperti ini cenderung bersifat otoriter, memaksa, dan memberikan hukuman bagi anak yang tidak menuruti perintah orang tua. Orang tua sangat membatasi dan mengatur gerak anak serta sedikit sekali berkomunikasi secara verbal dengan anak. Pola seperti ini akan berdampak pada ketidakmampuan anak dalam melakukan interaksi sosial yang baik. Anak yang berada dalam pola pengasuhan seperti ini akan merasa tidak bahagia, tertekan yang kelak bisa berdampak mempunyai sifat curang dan agresif serta kurang memiliki kemampuan berkomunikasi.

2. Pola asuh otoritatif/ berwibawa (Authoritative Parenting)

Pola asuh otoritatif memberikan kebebasan kepada anak untuk melakukan berbagai aktivitas, tetapi orang tua tetap mengontrol dengan wajar. Orang tua membarikan kesempatan kepada anak untuk memberi dan menerima saran (dalam bentuk diskusi misalnya), bersikap hangat, dan memberikan teladan bagi anak. Dalam menyikapi tingkah laku anak, orang tua cenderung selalu memberikan dukungan, menyenangkan, menumbuhkan kesadaran pribadi, dan memberikan penguatan bagi tingkah laku positif anak. Dampak dari pola asuh ini anak akan mempunyai kemampuan interaksi sosial yang baik.

3. Pola asuh lalai (Neglectful Parenting)

Dalam keluarga yang pola asuh orang tuanya lalai, anak sama sekali tidak dilibatkan oleh orang tua. Orang tua menganggap bahwa aspek merekalah yang sangat jarang bahkan tidak pernah memberikan masukan kepada anak mengenai nilai-nilai. Anak-anak yang berada dalm pola pengasuhan seperti ini tidak memiliki kemampuan berinteraksi sosial, kurang percaya diri, cenderung memisahkan diri, dan akan mengalami perkembangan mental yang kurang normal. Pada masa remaja anak akan sering membolos dan melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang ada.

4. Pola asuh bebas (Indulgent Parenting)

Pada pola pengasuhan bebas ini, orang tua sangat berperan aktif terhadap kehidupan anak, tetapi sangat kurang mengontrol anak. Orang tua membiarkan anak melakukan apa pun yang diinginkannya, sehingga anak tidak pernah memiliki kesempatan untuk belajar mengontrol tingkah lakunya sendiri dan anak selalu mendapatkan segalanya dengan cara apa pun. Dampaknya anak menjadi egois, ingin menang sendiri, dan tidak mau kompromi.

Ciri-ciri Pola Asuh Otoritatif

Dari keempat pola asuh di atas yang terbaik adalah pola asuh otoritatif. Jeanne Ballantine (2001) mengemukakan ciri-ciri pola asuh otoritatif seperti di bawah ini.

  1. Menuntut dan responsif. Dalam pola ini orang tua menggunakan pendekatan terhadap anak untuk membuat keputusan sendiri dan mengatur waktu sendiri. Cara yang dilakukan tidak menggunakan kekerasan, hukuman, dan sesuatu yang menyakitkan. Ketika orang tua meminta anak untuk melakukan sesuatu dalam rangka mendisiplinkan anak, maka dilakukanlah diskusi dengan anak untuk mengetahui keinginan dan kondisi anak. Dalam arti orang tua responsif terhadap kemauan dan kondisi anak.
  2. Mengontrol tetapi tidak membatasi. Orang tua tetap mengawasi dan memperhatikan tingkah laku anak. Ketika anak melakukan kesalahan, orang tua menegur dan memperbaiki kesalahan tersebut, akan tetapi orang tua tetap memberi kebebasan kepada anak untuk melakukan aktivitasnya.
  3. Peduli dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan anak. Dalam hal ini orang tua memberikandukungan kepada aktivitas positif anak. Ketika anak mengalami masalah, orang tua memberikan bantuan sewajarnya saja, agar anak dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Tentang masalah keluarga sebaiknya penyelesaiannya didiskusikan untuk memperoleh solusi yang disepakati bersama.
  4. Komunikasi terbuka. Orang tua menjadi pendengar terbaik bagi pandangan maupun pendapat anak dan membiarkan mereka memilih cara sendiri untuk menyelesaikan masalahnya. Ketika anak mengalami kekecewaan,merasa tidak dihargai atau merasa diabaikan oleh orang tuanya, maka mereka berusaha mendiskusikan masalahnya secara terbuka, sehingga akhirnya menemukan alternaif yang dapat diterima, baik oleh anak sendiri maupun orang tua.
  5. Percaya, menerima, dan otonomi psikologis. Orang tua yang otoritatif mengikuti kebutuhan anak dan berusaha untuk mengembangkan minat dan bakat anak. Anak merasa dipercaya dan diterima, sehingga membuatnya percaya diri untuk memiliki cara dalam membuat keputusan yang terbaik dalam kehidupannya. Anak akan dapat mengembangkan rasa tanggung jawabterhadap dirinya sendiri maupun keluarganya.
  6. Mengetahui apa yang dilakukan anak. Keluarga yang otoritatif mengetahui dengan baik apa yang dilakukan anak. Semua aktivitas anak diketahui oleh orang tua, sehingga setiap keluarga mengetahui tentang arti keamanan, rasa empati, dan betapa pentingnya keberadaan setia individu dalam keluarga.
  7. Menemukan alternatif bagi penyelesaian sebuah konflik. Setiap keluarga pasti mengalami konflik. Bagaimana cara mengatasi sebuah konflikakan sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak. Kompromi dan negosiasi dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk memiliki keterampilan menyelesaikan konflik dan mampumengemukakan alasan yang dapat dipercaya.

Dari uraian tentang ciri-ciri keluarga yang menerapkan pola asuh otoritatif akan terlihat bahwa keberadaan anak sangat berharga bagi orang tua. Perlakuan yang diterima oleh anak dapat membuat anak mengerti akan arti keberadaannya. Dengan demikian mereka dapat mengembangkan seluruh potensinya secara maksimal.

Menanamkan Nilai-Nilai Etika Demokrasi dalam Keluarga

Anak dalam sebuah keluarga adalah anggota yang patut ditelaah fase perkembangannya, mengingat perkembangan emosi dan kemampuan intelektualnya sangat bergantung kepada fase tempat anak berada. Johnson (Ihromi, 1999) mengelompokkan fase-fase tumbuh anak sebagai berikut: 1) fase laten/bayi, 2) fase adaptasi (2-5 tahun), 3) fase pencapaian tujuan (5-7 tahun), 4) fase integrasi (7-10 tahun), 5) fase remaja (11-17 tahun), 6) fase dewasa (18-60 tahun), dan 7) fase tua (di atas 60 tahunan). Semua perjalanan hidup manusia melewati fase-fase di atas sesuai perkembangan fisik dan intelektualnya. Diawali dari proses sosialisasi manusia dalam suatu keluarga, maka secara tidak disadari terbentuklah kepribadian seseorang.

Sosialisasi kehidupan sebenarnya sudah dimulai sejak masa kanak-kanak. Biasanya sebelum anak memasuki sekolah orang tua memberi tahu tentang siapa presiden, mentri, tokoh-tokoh pahlawan, dan pemimpin pemimpin lainnya, di sini orang tua berperan sebagai agen sosialisasi kepemimpinan. Kemudian dengan masuknya ke sekolah, maka yang menjadi agen sosialisasi adalah keluarga dan sekolah. Masuknya anak ke sekolah akan menambah intensitas komunikasi dan juga menambah pengetahuan anak atas adanya peraturan-peraturan baru di sekolah. Pergaulan anak bertambah luas dengan adanya teman-teman dan ibu/bapak guru. Di sekolah inilah anak mulai diperkenalkan dengan kurikulum pendidikan mengenai budi pekerti dan etika dalam pergaulan sehari-hari. Jadi, proses pengenalan etika pada anak selain di rumah juga di sekolah, sehingga anak diharapkan kelak akan menjadi manusia dewasa yang beradab.

Etika adalah norma moral tertinggi yang mulai ditanamkan di keluarga/di lingkungan terdekatnya melalui pendidikan. Etika ini kelak akan menentukan kualitas kemanusiaan dan kepekaan hati nurani seseorang. Hati nurani hanya bisa dipakai sebagai pegangan kalau kita terdidik dengan baik, dan keharmonisan dalam keluarga adalah awal semua ini. Sopan santun tidaklah cukup, karena banyak orang yang bersikap sopan santun, tetapi untuk menipu. Lain halnya dengan sebuah nilai etika, karena etika sangat mendasar dan berpusat di dalam sanubari seseorang.

Demokrasi yang dilandasi dengan nilai etika akan membawa suatu keluarga ke dalam kehidupan yang jelas arahnya, baik untuk suami, istri, anak, saudara dekat, kakek nenek, dan masyarakat sekitarnya. Apabila paham demokrasi tidak dilandasi etika, maka kita akan terjebak pada sebuah ochlokrasi, yaitu eforia (pesta berlebihan) dari demokrasi yang tidak pada tempatnya. Misalnya anak merasa dewasa, ia mempertahankan pendapat dengan alasan kebebasan menentukan jalan hidupnya atau misalnya orang tua membiarkan anaknya terjerumus dalam sebuah pergaulan dengan alasan bahwa manusia dewasa harus bertanggung jawab sendiri atas semua tindakannya.

Dalam kehidupan sehari-hari tampaknya sulit untuk melihat contoh sempurna sebuah keluarga yang demokrasi dan menerapkan etika sekaligus, serta mendapatkan ruang publik yang beradab. Saat ini kita tidak usah mencari contoh di luar keluarga kita, tetapi kita yang berperan sebagai istri, ibu, dan anggota masyarakat mulailah mencoba menerapkan etika dalam kehidupan keluarga yang demokrasi secara lebih baik, sehingga dapat diteladani oleh anak, suami, saudara, tetangga, dan masyarakat

Pendidikan Adil dalam Keluarga

Pendidikan adil dalam keluarga adalah memberi kesempatan yang adil kepada ayah, ibu, dan anak untuk menjalankan perannya dalam keluarga dan dalam melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan perannya tersebut secara adil dan bijaksana. Dalam hal ini suami istri harus selalu menghidupkan komunikasi baik, lancar, dan dua arah dengan dilandasi oleh rasa tanggung jawab, tulus dan jujur, agar keadaan baik maupun buruk bisa dikomunikasikan dengan baik. Selain itu kita harus mengingat bahwa hubungan antara suami dan istri, bukanlah hubungan antara atasan dengan bawahan atau majikan dengan buruh, tetapi harus merupakan pribadi-pribadi yang merdeka. Pribadi-pribadi ini harus menyatu ke dalam suatu wadah kesatuan yang utuh yang dilandasi oleh saling membutuhkan, saling melindungi, saling melengkapi, dan saling menyayangi satu sama lainnya. Hal ini dilakukan untuk sama-sama bertanggung jawab di lingkungan keluarga, masyarakat, dan di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam interaksi hubungan suami istri tidak boleh ada unsur pemaksaan, misalnya suami memaksa istri untuk melakukan sesuatu atau sebaliknya istri memaksa suami melaksanakan sesuatu, termasuk dalam hubungan intim suami istri.

Suami adalah pemimpin keluarga. Makna pemimpin keluarga adalah pemimpin kolektif, dalam arti antara suami dan istri harus saling melengkapi mengenai kekurangan maupun kelebihan masing-masing. Jadi, bukan kepemimpinan otoriter. Pendidikan keluarga yang adil harus diawali dari mitra setara antara suami dan istri, yaitu masing-masing harus menjadi pendengar yang baik bagi pihak lain termasuk dari anak-anaknya. Suami istri harus selalu mendukung dalam melaksanaka peran serta masing-masing di masyarakat. Semua urusan rumah tangga, baik aspek produktif, domestik, sosiokultural, dan kekerabatan adalah urusan dan tanggung jawab bersama suami istri. Oleh karena itu, kemampuan mengendalikan diri dan bekerja sama yang didasari saling pengertian adalah kunci utama dalam membina kebersamaan keluarga, sehingga anak akan merasa aman di lingkungan keluarganya.

Sebaiknya memberikan perlakuan kepada anak-anak harus sama. Anak laki-laki dan perempuan pasti berbeda, tetapi jangan sekali-kali membedakan perlakuan kepada anak laki-laki dan anak perempuan. Ketika sebuah keluarga yang kehidupannya pas-pasan secara ekonomi dan biaya untuk menyekolahkan sulit, maka jangan lagi ada pemahaman anak laki-laki yang harus melanjutkan sekolah, karena setinggi-tinggi anak perempuan sekolah pasti akan kembali ke dapur. Mereka harus sama memperoleh akses terhadap pendidikan, sumber daya keluarga, dan pembinaan lainnya, termasuk hak atas pengambilan keputusan.

.

Penutup

Pendidikan terjadi dengan dimulai dari lingkungan keluarga. Keluarga adalah unit terkecil dari kelompok masyarakat dan keluarga merupakan sel dasar pembentuk kehidupan manusia. Keluargalah yang paling dekat dengan keseharian hidup anak. Oleh karena itu, untuk anak harus diawali oleh fondasi kehidupan demokrasi di tengah keluarganya, lalu di tengah lingkungannya, kemudian kelak meningkat ke lingkup yang lebih luas, yaitu lingkup nasional dan internasional sesuai perkembangan kehidupannya.

Etika adalah norma moral tertinggi yang mulai ditanamkan di keluarga/di lingkungan terdekatnya melalui pendidikan. Etika ini kelak akan menentukan kualitas kemanusiaan dan kepekaan hati nurani seseorang. Hati nurani hanya bisa dipakai sebagai pegangan kalau kita terdidik dengan baik, dan keharmonisan dalam keluarga adalah awal semua ini. Sopan santun tidaklah cukup, karena banyak orang yang bersikap sopan santun, tetapi untuk menipu. Lain halnya dengan sebuah nilai etika, karena etika sangat mendasar dan berpusat di dalam sanubari seseorang

Pendidikan adil dalam keluarga adalah memberi kesempatan yang adil kepada ayah, ibu, dan anak untuk menjalankan perannya dalam keluarga dan dalam melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan perannya tersebut secara adil dan bijaksana. Jangan sekali-kali membedakan perlakuan kepada anak laki-laki dan anak perempuan. Mereka harus sama memperoleh akses terhadap pendidikan, sumber daya keluarga, dan pembinaan lainnya, termasuk hak atas pengambilan keputusan

PENDIDIKAN ADIL UNTUK ANAK

Pendahuluan

Pendidikan merupakan bagian integral yang berfungsi untuk mempersiapkan peserta didik agar mampu menyesuaikan diri sebaik mungkin dengan lingkungannya. Pendidikan juga akan membawa perubahan dalam diri peserta didik untuk berfungsi dalam kehidupan masyarakat. Tujuan pendidikan nasional adalah untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan YME, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, produktif, serta sehat jasmani dan rohani. Hal ini sesuai dengan Visi Departemen Pendidikan Nasional sampai dengan tahun 2025, yaitu menciptakan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif.

Pendidikan terjadi dengan dimulai dari lingkungan keluarga. Keluarga diartikan sebagai suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah, dan adopsi serta interaksi berkomunikasi antara satu dengan lainnya, sehingga menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami-istri, ayah-ibu, putra-putri, saudara laki-laki dan perempuan yang merupakan pemelihara kebudayaan bersama. Dengan demikian, pembentukan keluarga mau tidak mau harus melalui ikatan perkawinan yang merupakan kontrak sosial dan ibadah yang merubah status masing-masing individu yang independen menjadi hubungan interindependen.

Keluarga adalah unit terkecil dari kelompok masyarakat dan keluarga merupakan sel dasar pembentuk kehidupan manusia. Keluargalah yang paling dekat dengan keseharian hidup anak. Oleh karena itu, untuk anak harus diawali oleh fondasi kehidupan demokrasi di tengah keluarganya, lalu di tengah lingkungannya, kemudian kelak meningkat ke lingkup yang lebih luas, yaitu lingkup nasional dan internasional sesuai perkembangan kehidupannya.

Pendidikan dalam Keluarga

Berbicara tentang pendidikan dalam keluarga perlu diawali dahulu dengan pembahasan demokrasi dalam keluarga. Demokrasi dapat diterapkan di dalam sebuah keluarga, yaitu dengan cara membangun suasana keluaga yang adil dan dinamis. Analoginya penerapan demokrasi dalam satu unit keluarga secara sederhana adalah pada pengambilan keputusan atas sesuatu yang dilaksanakan secara terbuka, dalam arti ada komunikasi dan diskusi, sehingga idealnya sebuah keputusan dapat diterima anggota keluarga dengan dasar pemahaman dan pengertian.

Pengertian Demokrasi dalam Keluarga

Demokrasi secara harfiah berarti kekuasaan ada di tangan rakyat. Pemerintahan diselenggarakan dari, untuk, dan oleh rakyat. Keluarga merupakan unit kesatuan terkecil dalam masyarakat yang umumnya terdiri dari ayah-ibu dan anak-anaknya. Di Indonesia sebuah keluarga yang menempati sebuah rumah juga meliputi kakek-nenek, adik ayah/ibu yang dipanggil paman/bibi.

Sosialisasi atas suatu hal dalam keluarga merupakan tindakan keseharian, baik orang tua, suami-istri, maupun anak yang selalu berkomunikasi untuk menyampaikan sesuatu. Dalam hal ini akan dibahas beberapa pendekatan yang biasa dilakukan orang tua dalam mendidik anak dan menegakkan disiplin keluarga. Hurlock dan Soe’oed (Ihromi,1999) mengelompokkan pola sosialisasi keluarga dalam tiga pola, yaitu:

1. Otoriter: dalam pola asuh otoriter, orang tua mempunyai kaidah dan peraturan-peraturan yang kaku dalam mengasuh anaknya. Setiap pelanggaran dikenai hukuman, sedikit sekali atau tidak pernah ada pujian apabila anak melakukan peraturan-peraturan yang telah ditentukan. Orang tua tidak mendorong anak untuk membuat keputusan sendiri sesuai dengan apa yang diperbuatnya, tetapi orang tualah yang menentukan bagaimana anak harus berbuat. Dengan demikian anak tidak memperoleh kesempatan untuk menentukan perbuatan-perbuatannya.

2. Demokratis: dalam pola asuh demokratis, orang tua menggunakan dialog, diskusi, penjelasan, dan alasan-alasan yang membantu agar anak mengerti mengapa ia diminta untuk mematuhi aturan-aturan. Orang tua lebih mementingkan aspek pendidikan daripada aspek hukuman. Hukuman tidak pernah kasar dan hanya diberikan apabila anak sengaja menolak perbuatan yang harus ia lakukan. Apabila perbuatan anak sesuai dengan apa yang patut ia lakukan, maka orang tua memberi pujian. Orang tua yang demokratis, yaitu orang tua yang berusaha untuk menumbuhkan control dari dalam diri anak itu sendiri.

3. Permisif: dalam pola ini orang tua bersikap membiarkan atau mengijinkan setiap tingkah laku anak dan tidak pernah memberikan hukuman kepada anak. Pola ini ditandai oleh sikap orang tua yang membiarkan anak mencari dan menemukan sendiri apa-apa yang memberikan batasan-batasan dari tingkah lakunya. Pada saat terjadi hal yang berlebihan barulah orang tua bertindak. Pola ini membuat pengawasan menjadi sangat longgar.

Aspek-aspek Pendidikan Anak

Dalam satu keluarga belum tentu orang tua menggunakan satu pola saja, kemungkinan menggunakan ketiga pola itu sekaligus atau secara bergantian. Penanaman nilai-nilai dalam keluarga dengan pola demokratis (kombinasi dari tiga pola di atas) akan membentuk budi pekerti dan karakter anak bangsa yang diharapkan menjadi manusia bermartabat. Dengan demikian anak akan menjadi anggota masyarakat yang jujur dan bertanggung jawab dan apabila kelak menjadi pemimpin pun akan jujur dan bertanggung jawab.

Hurlock dan Soe’oed (Ihromi, 1999) menyatakan bahwa ada empat aspek yang patut diperhatikan dalam mendidik anak dalam keluarga, yaitu adanya:

1. Peraturan

Peraturan dapat diperoleh dari orang tua, guru, adat, dan teman bermain. Tujuan dari adanya peraturan adalah membekali anak melalui suatu pedoman bertingkah laku benar dan mengendalikan tingkah laku yang tidak benar.

2. Hukuman

hukuman merupakan sangsi pelanggaran dan diberikan kepada anak yang telah mengerti secara verbal. Hukuman mempunyai tiga peranan penting, yaitu pertama bersifat membatasi agar anak (terutama anak kecil) tidak mengulangi pelanggaran, kedua bersifat pendidikan agar anak mengerti adanya hukuman apabila melanggar aturan-aturan tertentu, dan ketiga bersifat motivasi agar anak menghindari pelanggaran atas aturan-aturan.

3. Hadiah atau Penghargaan

Dalam pemberian hadiah atau penghargaan ini tidak harus berupa materi, tetapi dapat berupa kata-kata pujian, senyuman, ciuman atau menepuk-nepuk bahu anak.

4. Konsistensi

Dalam hal ini konsistensi aturan-aturan sangat diperlukan, dengan kata lain derajat kesamaan akan aturan-aturan sangat diperlukan, supaya anak tidak bingung dalam menyikapi aturan-aturan tersebut.

Pola Perkawinan dalam Suatu Kelurga

Menurut Scanzoni dan Suleeman (Ihromi, 2003) dalam suatu keluarga, pola pengasuhan anak sangat bergantung pada pola hubungan suami-istri. Ada empat macam pola perkawinan, yaitu:

1. Pola Owner Property (Istri adalah milik suami)

Istri adalah milik suami. Tugas istri adalah membahagiakan suami, menyediakan makanan untuk suami dan anak, mengasuh anak, dan mengerjakan tugas-tugas rumah tangga lainnya. Tugas suami mencari nafkah.

2. Pola Head Complement (Istri sebagai pelengkap suami)

Suami diharapkan untuk memenuhi kebutuhan istri akan cinta dan kasih sayang, kepuasan seksual, dukungan emosi, teman, pengertian, dan komunikasi terbuka. Tugas suami tetap mencari nafkah dan tugas istri tetap mengatur rumah tangga dan mendidik anak.

3. Pola Senior-Junior (Istri sebagai pelengkap dan teman suami)

Posisi istri tidak hanya sebagai pelengkap suami, tetapi juga sebagai teman. Perubahan ini terjadi karena istri juga memberikan sumbangan secara ekonomi, meskipun tetap suami pencari nafkah utama. Dalam teori pertukaran, istri mendapatkan kekuasaan dan suami kehilangan sebagian kekuasaannya. Tetapi suami masih memiliki kekuasaan yang lebih besar dari istri, karena posisinya sebagai pencari nafkah utama.

4. Pola Equal Partner (Istri sebagai mitra suami)

Tidak ada posisi yang lebih tinggi atau rendah di antara suami dan istri. Istri mendapat hak dan kewajiban yang sama untuk mengembangkan diri sepenuhnya dan melakukan tugas-tugas rumah tangga. Secara ekonomi istri mampu mandiri, secara kemampuan kerja istri mendapat pengakuan dari orang lain, karena kemampuan sendiri, bukan karena kedudukan suami.

Iklim demokrasi dalam keluarga, selain bergantung pada pola pengasuhan

anak dan pola hubungan perkawinan suami istri, bergantung juga pada pendidikan pasangan suami istri dan faktor budaya setempat yang ikut menentukan kedudukan perempuan dalam sebuah perkawinan. Tidak mudah membangun iklim demokrasi di tengah keluarga, hambatannya adalah budaya patriarki yang merupakan budaya tertua di Indonesia.

Pola Asuh Orang Tua pada Anak

Jenis-jenis pengasuhan anak oleh orang tua memberikan warna bagi perkembangan anak. Dalam hal ini orang tua mempunyai peranan yang sangat penting untuk memfasilitasi perkembangan anak, terutama perkembangan emosi dan kehidupan sosialnya. Pola pengasuhan anak akan banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Pola-pola pengasuhan anak ini dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kategori dengan kriteria tertentu. Diana Baumrid ( Santrock, 2007: 464) mengemukakan empat jenis pola penasuhan anak sebagai berikut.

1. Pola asuh otoriter/ berkuasa (Authoritarian Parenting)

Pola pengasuhan anak seperti ini cenderung bersifat otoriter, memaksa, dan memberikan hukuman bagi anak yang tidak menuruti perintah orang tua. Orang tua sangat membatasi dan mengatur gerak anak serta sedikit sekali berkomunikasi secara verbal dengan anak. Pola seperti ini akan berdampak pada ketidakmampuan anak dalam melakukan interaksi sosial yang baik. Anak yang berada dalam pola pengasuhan seperti ini akan merasa tidak bahagia, tertekan yang kelak bisa berdampak mempunyai sifat curang dan agresif serta kurang memiliki kemampuan berkomunikasi.

2. Pola asuh otoritatif/ berwibawa (Authoritative Parenting)

Pola asuh otoritatif memberikan kebebasan kepada anak untuk melakukan berbagai aktivitas, tetapi orang tua tetap mengontrol dengan wajar. Orang tua membarikan kesempatan kepada anak untuk memberi dan menerima saran (dalam bentuk diskusi misalnya), bersikap hangat, dan memberikan teladan bagi anak. Dalam menyikapi tingkah laku anak, orang tua cenderung selalu memberikan dukungan, menyenangkan, menumbuhkan kesadaran pribadi, dan memberikan penguatan bagi tingkah laku positif anak. Dampak dari pola asuh ini anak akan mempunyai kemampuan interaksi sosial yang baik.

3. Pola asuh lalai (Neglectful Parenting)

Dalam keluarga yang pola asuh orang tuanya lalai, anak sama sekali tidak dilibatkan oleh orang tua. Orang tua menganggap bahwa aspek merekalah yang sangat jarang bahkan tidak pernah memberikan masukan kepada anak mengenai nilai-nilai. Anak-anak yang berada dalm pola pengasuhan seperti ini tidak memiliki kemampuan berinteraksi sosial, kurang percaya diri, cenderung memisahkan diri, dan akan mengalami perkembangan mental yang kurang normal. Pada masa remaja anak akan sering membolos dan melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang ada.

4. Pola asuh bebas (Indulgent Parenting)

Pada pola pengasuhan bebas ini, orang tua sangat berperan aktif terhadap kehidupan anak, tetapi sangat kurang mengontrol anak. Orang tua membiarkan anak melakukan apa pun yang diinginkannya, sehingga anak tidak pernah memiliki kesempatan untuk belajar mengontrol tingkah lakunya sendiri dan anak selalu mendapatkan segalanya dengan cara apa pun. Dampaknya anak menjadi egois, ingin menang sendiri, dan tidak mau kompromi.

Ciri-ciri Pola Asuh Otoritatif

Dari keempat pola asuh di atas yang terbaik adalah pola asuh otoritatif. Jeanne Ballantine (2001) mengemukakan ciri-ciri pola asuh otoritatif seperti di bawah ini.

  1. Menuntut dan responsif. Dalam pola ini orang tua menggunakan pendekatan terhadap anak untuk membuat keputusan sendiri dan mengatur waktu sendiri. Cara yang dilakukan tidak menggunakan kekerasan, hukuman, dan sesuatu yang menyakitkan. Ketika orang tua meminta anak untuk melakukan sesuatu dalam rangka mendisiplinkan anak, maka dilakukanlah diskusi dengan anak untuk mengetahui keinginan dan kondisi anak. Dalam arti orang tua responsif terhadap kemauan dan kondisi anak.
  2. Mengontrol tetapi tidak membatasi. Orang tua tetap mengawasi dan memperhatikan tingkah laku anak. Ketika anak melakukan kesalahan, orang tua menegur dan memperbaiki kesalahan tersebut, akan tetapi orang tua tetap memberi kebebasan kepada anak untuk melakukan aktivitasnya.
  3. Peduli dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan anak. Dalam hal ini orang tua memberikandukungan kepada aktivitas positif anak. Ketika anak mengalami masalah, orang tua memberikan bantuan sewajarnya saja, agar anak dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Tentang masalah keluarga sebaiknya penyelesaiannya didiskusikan untuk memperoleh solusi yang disepakati bersama.
  4. Komunikasi terbuka. Orang tua menjadi pendengar terbaik bagi pandangan maupun pendapat anak dan membiarkan mereka memilih cara sendiri untuk menyelesaikan masalahnya. Ketika anak mengalami kekecewaan,merasa tidak dihargai atau merasa diabaikan oleh orang tuanya, maka mereka berusaha mendiskusikan masalahnya secara terbuka, sehingga akhirnya menemukan alternaif yang dapat diterima, baik oleh anak sendiri maupun orang tua.
  5. Percaya, menerima, dan otonomi psikologis. Orang tua yang otoritatif mengikuti kebutuhan anak dan berusaha untuk mengembangkan minat dan bakat anak. Anak merasa dipercaya dan diterima, sehingga membuatnya percaya diri untuk memiliki cara dalam membuat keputusan yang terbaik dalam kehidupannya. Anak akan dapat mengembangkan rasa tanggung jawabterhadap dirinya sendiri maupun keluarganya.
  6. Mengetahui apa yang dilakukan anak. Keluarga yang otoritatif mengetahui dengan baik apa yang dilakukan anak. Semua aktivitas anak diketahui oleh orang tua, sehingga setiap keluarga mengetahui tentang arti keamanan, rasa empati, dan betapa pentingnya keberadaan setia individu dalam keluarga.
  7. Menemukan alternatif bagi penyelesaian sebuah konflik. Setiap keluarga pasti mengalami konflik. Bagaimana cara mengatasi sebuah konflikakan sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak. Kompromi dan negosiasi dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk memiliki keterampilan menyelesaikan konflik dan mampumengemukakan alasan yang dapat dipercaya.

Dari uraian tentang ciri-ciri keluarga yang menerapkan pola asuh otoritatif akan terlihat bahwa keberadaan anak sangat berharga bagi orang tua. Perlakuan yang diterima oleh anak dapat membuat anak mengerti akan arti keberadaannya. Dengan demikian mereka dapat mengembangkan seluruh potensinya secara maksimal.

Menanamkan Nilai-Nilai Etika Demokrasi dalam Keluarga

Anak dalam sebuah keluarga adalah anggota yang patut ditelaah fase perkembangannya, mengingat perkembangan emosi dan kemampuan intelektualnya sangat bergantung kepada fase tempat anak berada. Johnson (Ihromi, 1999) mengelompokkan fase-fase tumbuh anak sebagai berikut: 1) fase laten/bayi, 2) fase adaptasi (2-5 tahun), 3) fase pencapaian tujuan (5-7 tahun), 4) fase integrasi (7-10 tahun), 5) fase remaja (11-17 tahun), 6) fase dewasa (18-60 tahun), dan 7) fase tua (di atas 60 tahunan). Semua perjalanan hidup manusia melewati fase-fase di atas sesuai perkembangan fisik dan intelektualnya. Diawali dari proses sosialisasi manusia dalam suatu keluarga, maka secara tidak disadari terbentuklah kepribadian seseorang.

Sosialisasi kehidupan sebenarnya sudah dimulai sejak masa kanak-kanak. Biasanya sebelum anak memasuki sekolah orang tua memberi tahu tentang siapa presiden, mentri, tokoh-tokoh pahlawan, dan pemimpin pemimpin lainnya, di sini orang tua berperan sebagai agen sosialisasi kepemimpinan. Kemudian dengan masuknya ke sekolah, maka yang menjadi agen sosialisasi adalah keluarga dan sekolah. Masuknya anak ke sekolah akan menambah intensitas komunikasi dan juga menambah pengetahuan anak atas adanya peraturan-peraturan baru di sekolah. Pergaulan anak bertambah luas dengan adanya teman-teman dan ibu/bapak guru. Di sekolah inilah anak mulai diperkenalkan dengan kurikulum pendidikan mengenai budi pekerti dan etika dalam pergaulan sehari-hari. Jadi, proses pengenalan etika pada anak selain di rumah juga di sekolah, sehingga anak diharapkan kelak akan menjadi manusia dewasa yang beradab.

Etika adalah norma moral tertinggi yang mulai ditanamkan di keluarga/di lingkungan terdekatnya melalui pendidikan. Etika ini kelak akan menentukan kualitas kemanusiaan dan kepekaan hati nurani seseorang. Hati nurani hanya bisa dipakai sebagai pegangan kalau kita terdidik dengan baik, dan keharmonisan dalam keluarga adalah awal semua ini. Sopan santun tidaklah cukup, karena banyak orang yang bersikap sopan santun, tetapi untuk menipu. Lain halnya dengan sebuah nilai etika, karena etika sangat mendasar dan berpusat di dalam sanubari seseorang.

Demokrasi yang dilandasi dengan nilai etika akan membawa suatu keluarga ke dalam kehidupan yang jelas arahnya, baik untuk suami, istri, anak, saudara dekat, kakek nenek, dan masyarakat sekitarnya. Apabila paham demokrasi tidak dilandasi etika, maka kita akan terjebak pada sebuah ochlokrasi, yaitu eforia (pesta berlebihan) dari demokrasi yang tidak pada tempatnya. Misalnya anak merasa dewasa, ia mempertahankan pendapat dengan alasan kebebasan menentukan jalan hidupnya atau misalnya orang tua membiarkan anaknya terjerumus dalam sebuah pergaulan dengan alasan bahwa manusia dewasa harus bertanggung jawab sendiri atas semua tindakannya.

Dalam kehidupan sehari-hari tampaknya sulit untuk melihat contoh sempurna sebuah keluarga yang demokrasi dan menerapkan etika sekaligus, serta mendapatkan ruang publik yang beradab. Saat ini kita tidak usah mencari contoh di luar keluarga kita, tetapi kita yang berperan sebagai istri, ibu, dan anggota masyarakat mulailah mencoba menerapkan etika dalam kehidupan keluarga yang demokrasi secara lebih baik, sehingga dapat diteladani oleh anak, suami, saudara, tetangga, dan masyarakat

Pendidikan Adil dalam Keluarga

Pendidikan adil dalam keluarga adalah memberi kesempatan yang adil kepada ayah, ibu, dan anak untuk menjalankan perannya dalam keluarga dan dalam melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan perannya tersebut secara adil dan bijaksana. Dalam hal ini suami istri harus selalu menghidupkan komunikasi baik, lancar, dan dua arah dengan dilandasi oleh rasa tanggung jawab, tulus dan jujur, agar keadaan baik maupun buruk bisa dikomunikasikan dengan baik. Selain itu kita harus mengingat bahwa hubungan antara suami dan istri, bukanlah hubungan antara atasan dengan bawahan atau majikan dengan buruh, tetapi harus merupakan pribadi-pribadi yang merdeka. Pribadi-pribadi ini harus menyatu ke dalam suatu wadah kesatuan yang utuh yang dilandasi oleh saling membutuhkan, saling melindungi, saling melengkapi, dan saling menyayangi satu sama lainnya. Hal ini dilakukan untuk sama-sama bertanggung jawab di lingkungan keluarga, masyarakat, dan di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam interaksi hubungan suami istri tidak boleh ada unsur pemaksaan, misalnya suami memaksa istri untuk melakukan sesuatu atau sebaliknya istri memaksa suami melaksanakan sesuatu, termasuk dalam hubungan intim suami istri.

Suami adalah pemimpin keluarga. Makna pemimpin keluarga adalah pemimpin kolektif, dalam arti antara suami dan istri harus saling melengkapi mengenai kekurangan maupun kelebihan masing-masing. Jadi, bukan kepemimpinan otoriter. Pendidikan keluarga yang adil harus diawali dari mitra setara antara suami dan istri, yaitu masing-masing harus menjadi pendengar yang baik bagi pihak lain termasuk dari anak-anaknya. Suami istri harus selalu mendukung dalam melaksanaka peran serta masing-masing di masyarakat. Semua urusan rumah tangga, baik aspek produktif, domestik, sosiokultural, dan kekerabatan adalah urusan dan tanggung jawab bersama suami istri. Oleh karena itu, kemampuan mengendalikan diri dan bekerja sama yang didasari saling pengertian adalah kunci utama dalam membina kebersamaan keluarga, sehingga anak akan merasa aman di lingkungan keluarganya.

Sebaiknya memberikan perlakuan kepada anak-anak harus sama. Anak laki-laki dan perempuan pasti berbeda, tetapi jangan sekali-kali membedakan perlakuan kepada anak laki-laki dan anak perempuan. Ketika sebuah keluarga yang kehidupannya pas-pasan secara ekonomi dan biaya untuk menyekolahkan sulit, maka jangan lagi ada pemahaman anak laki-laki yang harus melanjutkan sekolah, karena setinggi-tinggi anak perempuan sekolah pasti akan kembali ke dapur. Mereka harus sama memperoleh akses terhadap pendidikan, sumber daya keluarga, dan pembinaan lainnya, termasuk hak atas pengambilan keputusan.

.

Penutup

Pendidikan terjadi dengan dimulai dari lingkungan keluarga. Keluarga adalah unit terkecil dari kelompok masyarakat dan keluarga merupakan sel dasar pembentuk kehidupan manusia. Keluargalah yang paling dekat dengan keseharian hidup anak. Oleh karena itu, untuk anak harus diawali oleh fondasi kehidupan demokrasi di tengah keluarganya, lalu di tengah lingkungannya, kemudian kelak meningkat ke lingkup yang lebih luas, yaitu lingkup nasional dan internasional sesuai perkembangan kehidupannya.

Etika adalah norma moral tertinggi yang mulai ditanamkan di keluarga/di lingkungan terdekatnya melalui pendidikan. Etika ini kelak akan menentukan kualitas kemanusiaan dan kepekaan hati nurani seseorang. Hati nurani hanya bisa dipakai sebagai pegangan kalau kita terdidik dengan baik, dan keharmonisan dalam keluarga adalah awal semua ini. Sopan santun tidaklah cukup, karena banyak orang yang bersikap sopan santun, tetapi untuk menipu. Lain halnya dengan sebuah nilai etika, karena etika sangat mendasar dan berpusat di dalam sanubari seseorang

Pendidikan adil dalam keluarga adalah memberi kesempatan yang adil kepada ayah, ibu, dan anak untuk menjalankan perannya dalam keluarga dan dalam melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan perannya tersebut secara adil dan bijaksana. Jangan sekali-kali membedakan perlakuan kepada anak laki-laki dan anak perempuan. Mereka harus sama memperoleh akses terhadap pendidikan, sumber daya keluarga, dan pembinaan lainnya, termasuk hak atas pengambilan keputusan

Sabtu, 01 November 2008

PEREMPUAN CERDAS PEMBANGUN BANGSA

Perempuan Cerdas Sepanjang Sejarah Indonesia

Cerita-cerita lama Indonesia, seperti legenda dan mitos banyak menceritakan perempuan cerdas, hebat, gagah, dan kuat. Ada legenda yang menceritakan bahwa perempuan merupakan sumber daya kehidupan manusia, misalnya cerita Sari Pohaci (Sunda) dan Dewi Sri (Jawa). Dari badan perempuan ini tumbuh jenis makanan yang menjadi sumber kehidupan manusia. Legenda lain ada yang menceritakan perempuan-perempuan gagah yang bisa bertindak dan mengambil keputusan pada saat keadaan kritis diperlukan ketegasannya, seperti “Nyi Dayang Sumbi” dalam cerita “Sangkuriang” atau cerita “Nyai Roro Kidul” yang sampai sekarang menjadi mitos di daerah Pantai Selatan.

Sejarah Indonesia juga mencatat tentang adanya raja perempuan yang memerintah pada abad ke-16, yaitu “Ratu Sima” sebagai Ratu Kerajaan Kalingga dan pahlawan-pahlawan perempuan yang bangkit untuk melawan penjajah sejak tahun1917, seperti Martha Christina Tiahahu, Nyi Ageng Serang, Cut Nyak Dien, Kartini, Dewi Sartika, dan Rasuna Said.

Kartini Pelopor Pencerdasan Perempuan Indonesia

Kartini berpendapat bahwa bila ingin maju dan mandiri, maka perempuan harus mendapat pendidikan. Kartini membangun pola pikir kemajuan, dengan cara menggugah kesadaran orang-orang sejamannya, bahwa kaum perempuan harus bersekolah. Tidak hanya di Sekolah Rendah, melainkan harus dapat meneruskan ke sekolah yang lebih tinggi, sejajar dengan laki-laki.

Surat-surat Kartini sangat progresif, bukan saja untuk masa itu, seandainya pun diterapkan untuk masa sekarang, surat-surat itu masih tetap sesuai dengan harapan perempuan masa kini. Pada saat itu ia sudah mempunyai sikap bahwa laki-laki dan perempuan harus diperlakukan sama dan memperoleh pendidikan yang sama pula, ia tidak setuju bila adat kebiasaanlah yang menentukan kedudukan laki-laki dan perempuan. Surat-surat Kartini memancarkan sikap-sikap yang terlalu maju untuk masyarakat saat itu. Bagi Kartini, perempuan harus terpelajar sehingga dapat bekerja sendiri, mencari nafkah sendiri, mengembangkan seluruh kemampuan dirinya, dan tidak tergantung pada siapa pun, termasuk suaminya. Selain itu, meskipun dalam situasi pingitan, terisolasi, dan merasa sunyi, Kartini mampu membangun satu gagasan politik yang progresif pada jaman itu, baik untuk kepentingan kaum perempuan maupun bagi para kawula miskin di tanah.

Gagasan-gagasan brilian dari Kartini tersebut kemudian diikuti oleh beberapa tokoh perempuan lainnya, seperti Raden Dewi Sartika yang mendirikan Sekolah Keutamaan Isteri di Bandung dan Rohanna Kudus yang mendirikan perusahaan penerbitan koran Soenting Malajoe.

Peranan Perempuan Dalam Pembangunan Bangsa

Sebelum Dekade Wanita PBB dikumandangkan pada tahun 1975-1985, posisi dan peran perempuan telah diperhatikan oleh pemerintah negara dunia ketiga dan oleh organisasi internasional seperti WHO dan UNICEF. Peranan perempuan pada masa itu terbatas pada upaya peningkatan kesejahteraan keluarga dan tidak dikaitkan dengan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Perempuan menjadi sasaran program pembangunan di bidang kesehatan dan program “belas kasihan” yang menganggap perempuan perlu dikasihani.

Perempuan yang dicakup dalam program pembangunan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa mereka termasuk ruang lingkup domestik sebagai perpanjangan peran reproduktif. Peran perempuan tidak memungkinkan untuk mendapatkan penghargaan berupa materi, semua kegiatan yang dilakukan oleh perempuan dianggap bernilai sosial, sehingga pada masa 1950-1960-an perempuan memiliki peran dan tanggung jawab pada kegiatan sosial tersebut. Pembangunan dengan ciri modernisasi, terutama di bidang pertanian dengan introduksi teknologi dan mekanisasi menempatkan laki-laki sebagai agen kemajuan dan modernisasi. Perempuan ditempatkan pada peran reproduktif yaitu mengelola rumah tangga.

Kebijakan pembangunan kemudian berlanjut hingga pada akhirnya memunculkan konsep WID (Woman in Development). Konsep ini memusatkan diri pada peranan produktif perempuan yang telah mencoba merealisasikan tujuan pengintegrasian perempuan ke dalam pembangunan dalam berbagai cara, yaitu memulai program khusus perempuan untuk meningkatkan kemandirian ekonomi. Proyek yang berakar pada konsep WID ini dikenal sebagai proyek peningkatan pendapatan. Tujuan utama proyek berbasis WID ini adalah meningkatkan peran, akses, kontrol dan benefit perempuan dalam pembangunan. Perempuan jadi objek.

Partisipasi perempuan dalam pembangunan juga semakin ditingkatkan. Muncullah WAD (Women and Developmen), yang dulunya perempuan semata-mata menjadi “objek pembangunan” kini mereka diikutsertakan menjadi “subjek pembangunan”. Keterlibatan perempuan dalam perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan pembangunan menjadi gagasan baru. Seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran gender pada masyarakat, pengarusutamaan gender (gender mainstraming) dalam pembangunan menjadi sebuah keharusan.

Konferensi perempuan sedunia di Mexico 1975 mengupas permasalahan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, termasuk di dalamnya hak dalam kesempatan kerja, membawa dampak positif bagi pemerintah Indonesia. Apalagi bila dikaitkan dengan permasalahan peranan perempuan dalam pembangunan seolah-olah bersifat universal di dunia ketiga. Pada waktu itu pemerintah membentuk Kementerian Negara Urusan Peranan Wanita dengan Ny. Lasiah Sutanto, S.H. sebagai mentrinya. Peran ganda perempuan (women’s dual role) menjadi tema utama saat itu.

Konsep mengenai peran ganda perempuan merupakan strategi dalam upaya memperkokoh kedudukan perempuan di masyarakat dan keluarga, lebih-lebih kalau kita mengingat situasi ekonomi, politik, dan sistem dunia yang melingkupinya yang masih belum memungkinkan perempuan bergerak leluasa.

Gerakan perempuan pada hakikatnya cukup punya andil besar dalam pembangunan meski dia tidak duduk dalam kursi publik, karena kebijakan pikirannya juga bisa disalurkan lewat orang orang terdekat yang duduk di kursi publik. John F. Kennedy menyebutkan bahwa dibalik kesuksesan laki-laki ada seorang perempuan. Begitulah perempuan harus sangatlah cerdas baik hati maupun pikirannya, karena perempuan adalah madrosatul ummah yang mendidik seluruh manusia, semenjak dari kandungan

Jika perempuan suatu bangsa cerdas-cerdas, maka hasil pembangunan bangsanya ke depan akan lebih signifikan. Suatu hasil penelitian di Rusia menyatakan bahwa majunya suatu negara karena bangsanya cerdas-cerdas. Yang melahirkan bangsa yang cerdas adalah perempuan, karena itu di Rusia bila ada seorang perempuan cerdas dan dia potensial untuk bisa banyak melahirkan anak, maka dia dibiayai oleh pemerintah untuk produktif melahirkan anak. Jadi, kelak perempuan-perempuan cerdas itu secara genetik akan melahirkan generasi bangsa yang cerdas pula.

Perempuan juga adalah tiang negara. Tegaknya negara akan sangat ditentukan oleh kaum perempuan. Dengan kata lain keberhasilan pembangunan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kaum perempuannya. Saat ini hampir tidak terlihat lagi perbedaan antara laki-laki dan perempuan, keduanya memiliki status, kesempatan, dan peranan yang luas untuk berkembang dalam struktur masyarakat modern. Sekarang tidak janggal lagi perempuan bekerja di pabrik, wartawan, sopir, atlet, eksekutif di perusahaan, anggota eksekutif di pemerintahan, anggota legislatif, guru besar, menteri, dan bahkan Negara Indonesia pernah mempunyai presiden perempuan.

Pergeseran peran perempuan yang semula pada kerja reproduktif ke produktif semakin lama menunjukkan gejala peningkatan. Secara kuantitas, perempuan memang lebih unggul dibandingkan laki-laki, hal ini menunjukkan bahwa sumber daya perempuan memiliki potensi untuk berperan serta dalam pembangunan. Kualitas sumber daya perempuan juga tidak kalah dibandingkan dengan laki-laki.

Kaum perempuan Indonesia, bila diberi kesempatan akan mampu meningkatkan kualitasnya. Mereka adalah aset dan potensi pembangunan, dan kita harus terus melakukan strategi kesetaraan dan keadilan gender (KKG) dalam pembangunan nasional agar mereka tidak menjadi beban pembangunan. Bila perempuan dihambat untuk diberdayakan, maka dengan sendirinya juga akan menghambat upaya optimal untuk memajukan Pembangunan Nasional kita. Perempuan Indonesia harus menjadi manusia Indonesia yang bermartabat dan maju, tidak kalah dengan bangsa-bangsa lain, juga harus mampu berperan aktif dalam pergaulan nasional maupun internasional.

Perempuan perlu meningkatkan kapasitasnya sebagai warga negara, agar mampu mengejar ketertinggalan di segala bidang kehidupan dan penghidupan di semua tingkatan. Perempuan sebagai penerus nilai dan norma-norma dalam keluarga dan kelompok strategis, diharapkan mampu berperan sebagai pembawa perubahan atau pelaku pembaharuan (agent of change).

Di era transformasi ini, keterlibatan perempuan di dunia publik sudah menunjukkan peningkatan, hal ini didorong oleh dua faktor penting yakni faktor internal dan eksternal. Dalam mengaktualisasikan dirinya ke dunia publik, perempuan juga menghadapi berbagai kendala dan tantangan antara lain adalah sosial budaya terutama stereotipe gender.

Konferensi Tingkat Tinggi tentang Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan tahun 2002, salah satu strategi terpenting yang disepakati, adalah meningkatkan peran perempuan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang sehat produktif dan bertanggung jawab. Hal tersebut sangat berkaitan pula dengan salah satu tujuan dari Millenium Development Goals (MDG’s) yaitu mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan manusia. Sekalipun MDG’s merupakan komitmen global, tetapi diupayakan untuk lebih mengakomodasikan nilai-nilai lokal sesuai dengan karakteristik masing-masing sehingga lebih mudah untuk diaplikasikan.
Lebih dari dua dasawarsa pembangunan pemberdayaan perempuan telah dilaksanakan, saat ini kita dapat melihat kiprah perempuan Indonesia dalam berbagai peranan dan posisi strategis serta kondisi dan posisi perempuan dalam berbagai keragaman peran. Hal ini menunjukkan bahwa " perempuan Indonesia memang merupakan sumberdaya yang potensial" apabila ditingkatkan kualitasnya dan diberi peluang dan kesempatan serta kemampuan dan keterampilan yang sama untuk berperan.